13 Februari 2015
Sudah hampir 24 jam aku mengganti "kita" menjadi aku dan kamu.
Berarti hampir 24 jam pula kita tuntaskan harapan yang sempat kita lipat kecil-kecil bersama.Soal bagaimana kita akan membangun rumah yang penuh palet kayu,
tentang bayangan pertengkaran kecil, tentang bagaimana
besok kau berkutat dengan studymu dan aku berkarya dengan rumitnya Ko-Ass.Kini tidak ada lagi agenda makan malam bersama saat waktu senggang. Tak
ada lagi tawa yang dibagi berdua setelah menjalani beberapa minggu yang panjang,
sebab kita sudah hidup terpisahkan oleh 2 tali pancang. Hidup jelas tak
lagi sama semenjak “kita” tak lagi ada. Aku sempat bertanya apa yang
Tuhan rencanakan di balik siksa. Apakah Ia hanya ingin kita belajar
mendalami ilmu ikhlas sebagai manusia?
Berpisah denganmu membuatku jadi seperti pohon yang tercerabut dari akarnya. Aku sempat limbung sekian lama
Selama ini di matamu barangkali aku selalu tampak kuat dan baik-baik
saja. Tapi ada yang tidak kau tahu, Tuan. Pada ujung-ujung malam aku
berpaling demi membenamkan kepalaku di antara kasur dan bantal. Di waktu senggangku ku perbanyak dan kupaksakan untuk mendekatkan diri kepada sang pemilik rasa. Aku sempat jadi pecundang. Aku
memilih menyingkir dari rute yang biasa kita lewati saat mencari makan
malam bersama. Ku rela memutar jauh hanya demi mengusir bayanganmu dari
kepala. Hampir sekian lamanya ku tak lagi makan di tempat kita berbagi cerita.
Melakoni napak tilas langkah yang sempat kita hela
bersama membuatku merasa meriang seperti orang demam. Sakit ini
menyisakan lebam yang dalam.
Mereka bilang mencintai selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan
selama yang dicinta mendapat kebahagiaan. Tapi dosakah jika hanya padaku
kuharap kau mendapatkan kenyamanan?
Hidupmu berjalan. Untuk yang satu ini aku tahu pasti, kau bukan
pemikir dan perasa sepertiku yang suka berlama-lama memandangi bangunan rapuh yang
selama ini menjaga hati. Kau jajaki langkah baru, bersama dia (entah siapa) yang nanti akan menjaring hatimu.
Sebagai orang yang tak lagi punya hak apa-apa tentu aku tak bisa
meminta banyak hal dari keadaan kita. Aneh, kita yang dulu tak pernah alpa chatting seru-seruan kini berubah jadi 2 data binari yang
diam-diam saling mengunjungi.
Meski sandaran kepalamu dibahuku kurindukan, aku harus puas hanya mendoakanmu tetap dalam lindungan Allah.Tapi dosakah aku jika kuharap hanya padaku kamu merasa menemukan
pendampingan yang menggenapi? Salahkah aku jika pada doa-doa kecil di setiap sujud kupanjatkan permohonan agar kamu segera sadar siapa yang
paling layak mendampingi?
Bukannya ingin berhitung, tapi bukankah hanya padaku kau rasakan
cinta yang tak pernah menghitung rugi dan untung? Kau bukan manusia
berhati semanis Arjuna, Tuan. Kau perlu tahu. Pernah mendapatkan cinta
sedalam itu sepatutnya kau merasa beruntung.
Tak bisa dipungkiri aku merinding setiap kubayangkan kau melakoni
kegiatan kita bersama orang yang berbeda. Masihkah ada jejakku yang
tertinggal di ujung sayangmu? Masihkah kelebat suaraku terdengar setiap
kau membuka mata?
Sering aku berharap aku dan pendampingmu nanti hanya sedang
bertukar peran sementara. Jika saatnya tiba kami akan kembali ke peran
yang lama. Kawan-kawan terdekatku bilang aku harus segera menghapusmu dari
kenangan. Urusanmu sekarang tak perlu lagi kupusingkan, sebab ujungnya
pasti menyakitkan.
"Bagaimana bisa mereka minta aku lupa begitu saja? Kau
masih dengan gagahnya berkeliaran di dunia. Sementara Allah tak kunjung
juga memberiku serangan amnesia."
Apakah dia mau berlama-lama merelakan bahunya untuk sandaran kepalamu saat lelah? Sudikah ia membanggakanmu didepan teman-temannya dengan kondisimu saat ini? Sering proteskah dia jika saat bersama, dia melihat kebiasaan makanmu dengan mengangkat salah satu kaki, atau seberapa sabar dia menerima kabar bahwa kamu sering mengulur atau membatalkan waktu bertemu?
Ku bayangkan bagaimana jika nanti kau temui pendampingan yang ternyata
tak sebaik yang kuberikan dulu.
Aku memang pencinta keras kepala. Tapi seiring waktu kusadari cinta
bukanlah lomba lari yang wajib menghasilkan pemenang di akhir hari
Aku tak ingin jadi munafik. Tak cuma sekali dua kali kuharap kau
tergelincir, jatuh, kemudian mengaku kalah. Kemudian kau akui bahwa
hanya pada pendampinganku kau menemukan kehangatan senyaman di rumah.
Aku sempat jadi manusia yang terpancang pada kepemilikan semata, lupa
teladan bahwa pada masanya Nabi Muhammad mengikhlaskan
segala yang mereka punya demi membuktikan cinta.
Jika manusia sehebat beliau saja rela melepaskan yang
dimiliki atas nama cinta, mengapa aku yang tak ada apa-apanya ini tak
bisa?
Lewat jalan terjal perlahan aku belajar memanen keikhlasan. Setiap
rasa tak terima datang kuambil nafas sedalam yang kubisa, kemudian
kubuang sembari membayangkan kenangan tentangmu ikut menguap bersamanya.
Pada hari ketika kau kirimkan kabar (kalau masih inget aku) kau telah meminang dia,
aku memilih bersujud lebih lama. Memohon Allahh berbaik hati mengoleskan
cairan antiseptik di luka yang kini kembali terbuka. Aku tak pernah bilang mengikhlaskanmu adalah pekerjaan yang mudah.
Tapi nanti pendulum perasaan itu perlahan berpindah, lewat usaha yang tak
kurang membuatku payah.
Keikhlasan ini perlahan terbangun seperti gardu pandang. Dalam rekam
jejak hidupku kau tak akan pernah hilang. Namun bukan padamulah kini
dapat kutemukan kata “Pulang.”
Kamu sempat jadi satu-satunya alasanku bertahan. Pada
pejalnya tubuh, rengkuh, dan pada lembutnya tuturkatamu kutemukan
penjelmaan rumah yang selalu mampu menjebol benteng pertahanan.
Tapi seperti manusia urban yang mudah berpindah sesuai kebutuhan nanti
rasa nyaman yang dulu bisa kau berikan perlahan tergantikan. Tak peduli seingin apapun aku meletakkan kepala di bahumu demi
melepas kepenatan, tindak manja itu kini tak lagi bisa kulakukan. Di
antara kita ada batasan. Ada hati yang akan tersakiti jika kau dan aku
bertindak berlebihan. Semenggebu apapun rasanya aku ingin bercerita,
ketika akhirnya kutemui kau dan kita saling memandang mata — ku tahu
kini kita tak lagi sama.
Kamu sempat jadi rumahku, hanya saja kini secara sadar kau sudah mengganti lubang kunci di kenop pintu.
Silahkan, Tuan. Kau boleh sibuk bercinta dengan yang baru atau
justru mengakusisi ruang pikir dan hatiku. Asal kau tahu, aku baru saja
kembali dari loket bertujuan “Keikhlasan.” Penjaga peron bilang keretanya sebentar lagi datang
Terlalu cepat jika kubilang aku sudah bisa melepaskanmu. Berproses
bersama jadi teman, sahabat, kakak dan dua insan yang memiliki perasaan "sayang" membuatku tak mudah
melupakan begitu saja. Aku pun tak ingin jumawa. Jujur kuakui jika dalam
hati masih kusimpan sayang.
Tapi aku tak ingin berkubang dalam genangan kesedihan lama-lama. Jika
kau bisa melepas semudah itu, mengapa hal yang sama tak bisa terjadi
padaku? Kini memang belum bisa kubuka hati seperti dulu. Tapi
keikhlasan itu sedang sabar kutunggu, di ujung peron berwarna biru.
Kata penjaga tiket di peronnya aku harus sedikit bersabar. Keretanya sebentar lagi datang.
Pembeli tiket keikhlasan demi bisa melupakanmu,
Tanpa perlu menyebut nama kau pasti tahu siapa aku.