Rabu, 25 Februari 2015

Semenjak kau tahu kehilangan hanya butuh dilawan dengan doa — mulai saat itu kesepian tak lagi harus menyisakan air mata

Tidak ada yang pantas disalahkan. Kalian hanya dua manusia yang berjalan di dua cabang berlainan.
Baginya harapan seperti energi terbarukan. Sedang bagimu, sejak saat itu, ia seperti anak hilang yang tak pernah lagi pulang.
Kalian dua manusia cerdas yang sama-sama tahu apa yang harus disudahi. Hanya sempat terlampau pengecut untuk berani menghadapi sendiri.
Bagimu harapan tinggi harus segera dipangkas sependek rambut tentara. Sementara baginya ia perlu belajar memperlakukanmu seperti manusia. Bukan warung makan Padang yang bisa didatangi seenaknya.
Hari-harimu jadi zombie yang tak bisa berpikir dengan akal sehat sudah lewat masanya. Kini kamu bisa memaksa diri bangun di pagi hari, meski namanya tetap belum terhapus dari hati. Impianmu perlahan mulai kau kejar lagi, walau sesekali kau bayangkan betapa nyaman jika ia ada di sisi untuk mendampingi. Perlahan kau mulai bisa hidup untuk diri sendiri, meski jujur kau tahu kau bukanlah orang yang sama lagi.
Seklise apapun kedengarannya kekuatan tak lain datang dari doa-doa kecil yang kau uarkan ke udara. Kau percaya doa menguatkanmu, tanpa sentuh tangan langsung doamu pun mengasihinya. Dalam tiap sujud dan tangkup tangan kau sisipkan namanya ke telinga Sang Pencipta. Berharap Ia mendengar permohonan HambaNya yang tak punya daya.
Satu-dua kali sepi tetap terasa menyiksa. Namun kini doa sudah bisa menanakkan air mata. Kawanan air mata yang dulu datang tanpa diminta sekarang lebih tahu sopan santun bertamu. Mereka tak lagi terlampau rutin mengunjungimu.


Tak ada kesedihan yang pantas disantuni. Hati tabahmu pun mengerti kau pantas mendapatkan lebih dari yang gigih kau perjuangkan saat ini

Sepanjang liku jalan ini kau belajar. Kau hanya boleh menengok lagi pada ia yang bisa menjaga hati. Karena kebanyakan manusia lebih menghargai ia yang hengkang tanpa pernah melongok lagi.
Kini kau tahu, beberapa mereka yang memilih pergi memang tak ingin melihatmu jungkir-balik jumpalitan mengusahakannya kembali. Bagi mereka kamu hanya tanah lapang persinggahan, persimpangan yang harus dilalui. Dan betapa bodohnya dirimu jika keras kepala memperjuangkan ia yang bahkan tak mau lagi sekadar menitip hati.
Kau pernah hidup berjubah rindu. Sajak-sajak pilu sempat berloncatan tanpa henti di kepalamu. Tapi kini kau tahu, kesedihan macam ini tak pantas disantuni. Tiba saatnya kau hidup dengan gagah berani.
Kini kamu tak ingin berdebat siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam pertandingan soal perasaan. Telah tuntas kau makamkan berbatang-batang perdu kesepian. Jika sepi memang sudah tertakdirkan sampai hari bahagia itu datang, mengelabuinya dengan kehangatan semu justru bisa jadi sebuah kejahatan.
Sedang kamu, dan hati tabahmu bukanlah pecundang.


(Tuhan tak akan menabahkan hatimu tanpa rencana. Sekarang giliranmu bertahan sekuat tenaga)

Jumat, 13 Februari 2015

Pembeli tiket keikhlasan demi bisa melupakanmu

13 Februari 2015

Sudah hampir 24 jam aku mengganti "kita" menjadi aku dan kamu. Berarti hampir 24 jam pula kita tuntaskan harapan yang sempat kita lipat kecil-kecil bersama.Soal bagaimana kita akan membangun rumah yang penuh palet kayu, tentang bayangan pertengkaran kecil, tentang bagaimana besok kau berkutat dengan studymu dan aku berkarya dengan rumitnya Ko-Ass.Kini tidak ada lagi agenda makan malam bersama saat waktu senggang. Tak ada lagi tawa yang dibagi berdua setelah menjalani beberapa minggu yang panjang, sebab kita sudah hidup terpisahkan oleh 2 tali pancang. Hidup jelas tak lagi sama semenjak “kita” tak lagi ada. Aku sempat bertanya apa yang Tuhan rencanakan di balik siksa. Apakah Ia hanya ingin kita belajar mendalami ilmu ikhlas sebagai manusia?


Berpisah denganmu membuatku jadi seperti pohon yang tercerabut dari akarnya. Aku sempat limbung sekian lama

Selama ini di matamu barangkali aku selalu tampak kuat dan baik-baik saja. Tapi ada yang tidak kau tahu, Tuan. Pada ujung-ujung malam aku berpaling demi membenamkan kepalaku di antara kasur dan bantal. Di waktu senggangku ku perbanyak dan kupaksakan untuk mendekatkan diri kepada sang pemilik rasa. Aku sempat jadi pecundang. Aku memilih menyingkir dari rute yang biasa kita lewati saat mencari makan malam bersama. Ku rela memutar jauh hanya demi mengusir bayanganmu dari kepala. Hampir  sekian lamanya ku tak lagi makan di tempat kita berbagi cerita.
Melakoni napak tilas langkah yang sempat kita hela bersama membuatku merasa meriang seperti orang demam. Sakit ini menyisakan lebam yang dalam.

 

Mereka bilang mencintai selalu sepaket dengan keikhlasan melepaskan selama yang dicinta mendapat kebahagiaan. Tapi dosakah jika hanya padaku kuharap kau mendapatkan kenyamanan?

Hidupmu berjalan. Untuk yang satu ini aku tahu pasti, kau bukan pemikir dan perasa sepertiku yang suka berlama-lama memandangi bangunan rapuh yang selama ini menjaga hati. Kau jajaki langkah baru, bersama dia (entah siapa) yang nanti akan menjaring hatimu.
Sebagai orang yang tak lagi punya hak apa-apa tentu aku tak bisa meminta banyak hal dari keadaan kita. Aneh, kita yang dulu tak pernah alpa chatting seru-seruan kini berubah jadi 2 data binari yang diam-diam saling mengunjungi.
Meski sandaran kepalamu dibahuku kurindukan, aku harus puas hanya mendoakanmu tetap dalam lindungan Allah.Tapi dosakah aku jika kuharap hanya padaku kamu merasa menemukan pendampingan yang menggenapi? Salahkah aku jika pada doa-doa kecil di setiap sujud kupanjatkan permohonan agar kamu segera sadar siapa yang paling layak mendampingi?
Bukannya ingin berhitung, tapi bukankah hanya padaku kau rasakan cinta yang tak pernah menghitung rugi dan untung? Kau bukan manusia berhati semanis Arjuna, Tuan. Kau perlu tahu. Pernah mendapatkan cinta sedalam itu sepatutnya kau merasa beruntung.

Tak bisa dipungkiri aku merinding setiap kubayangkan kau melakoni kegiatan kita bersama orang yang berbeda. Masihkah ada jejakku yang tertinggal di ujung sayangmu? Masihkah kelebat suaraku terdengar setiap kau membuka mata?

Sering aku berharap aku dan pendampingmu nanti hanya sedang bertukar peran sementara. Jika saatnya tiba kami akan kembali ke peran yang lama. Kawan-kawan terdekatku bilang aku harus segera menghapusmu dari kenangan. Urusanmu sekarang tak perlu lagi kupusingkan, sebab ujungnya pasti menyakitkan.
"Bagaimana bisa mereka minta aku lupa begitu saja? Kau masih dengan gagahnya berkeliaran di dunia. Sementara Allah tak kunjung juga memberiku serangan amnesia."
Apakah dia mau berlama-lama merelakan bahunya untuk sandaran kepalamu saat lelah? Sudikah ia membanggakanmu didepan teman-temannya dengan kondisimu saat ini? Sering proteskah dia jika saat bersama, dia melihat kebiasaan makanmu dengan mengangkat salah satu kaki, atau seberapa sabar dia menerima kabar bahwa kamu sering mengulur atau  membatalkan waktu bertemu?
Ku bayangkan bagaimana jika nanti kau temui pendampingan yang ternyata tak sebaik yang kuberikan dulu.


Aku memang pencinta keras kepala. Tapi seiring waktu kusadari cinta bukanlah lomba lari yang wajib menghasilkan pemenang di akhir hari


Aku tak ingin jadi munafik. Tak cuma sekali dua kali kuharap kau tergelincir, jatuh, kemudian mengaku kalah. Kemudian kau akui bahwa hanya pada pendampinganku kau menemukan kehangatan senyaman di rumah. Aku sempat jadi manusia yang terpancang pada kepemilikan semata, lupa teladan bahwa pada masanya Nabi Muhammad  mengikhlaskan segala yang mereka punya demi membuktikan cinta.
Jika manusia sehebat beliau saja rela melepaskan yang dimiliki atas nama cinta, mengapa aku yang tak ada apa-apanya ini tak bisa?
Lewat jalan terjal perlahan aku belajar memanen keikhlasan. Setiap rasa tak terima datang kuambil nafas sedalam yang kubisa, kemudian kubuang sembari membayangkan kenangan tentangmu ikut menguap bersamanya. Pada hari ketika kau kirimkan kabar (kalau masih inget aku) kau telah meminang dia, aku memilih bersujud lebih lama. Memohon Allahh berbaik hati mengoleskan cairan antiseptik di luka yang kini kembali terbuka. Aku tak pernah bilang mengikhlaskanmu adalah pekerjaan yang mudah. Tapi nanti pendulum perasaan itu perlahan berpindah, lewat usaha yang tak kurang membuatku payah.


Keikhlasan ini perlahan terbangun seperti gardu pandang. Dalam rekam jejak hidupku kau tak akan pernah hilang. Namun bukan padamulah kini dapat kutemukan kata “Pulang.”

Kamu sempat jadi satu-satunya alasanku bertahan. Pada pejalnya tubuh, rengkuh, dan pada lembutnya tuturkatamu kutemukan penjelmaan rumah yang selalu mampu menjebol benteng pertahanan.
Tapi seperti manusia urban yang mudah berpindah sesuai kebutuhan nanti rasa nyaman yang dulu bisa kau berikan perlahan tergantikan. Tak peduli seingin apapun aku meletakkan kepala di bahumu demi melepas kepenatan, tindak manja itu kini tak lagi bisa kulakukan. Di antara kita ada batasan. Ada hati yang akan tersakiti jika kau dan aku bertindak berlebihan. Semenggebu apapun rasanya aku ingin bercerita, ketika akhirnya kutemui kau dan kita saling memandang mata — ku tahu kini kita tak lagi sama.
Kamu sempat jadi rumahku, hanya saja kini secara sadar kau sudah mengganti lubang kunci di kenop pintu. 

Silahkan, Tuan. Kau boleh sibuk bercinta dengan yang baru atau justru mengakusisi ruang pikir dan hatiku. Asal kau tahu, aku baru saja kembali dari loket bertujuan “Keikhlasan.” Penjaga peron bilang keretanya sebentar lagi datang

Terlalu cepat jika kubilang aku sudah bisa melepaskanmu. Berproses bersama jadi teman, sahabat, kakak dan dua insan yang memiliki perasaan "sayang" membuatku tak mudah melupakan begitu saja. Aku pun tak ingin jumawa. Jujur kuakui jika dalam hati masih kusimpan sayang.
Tapi aku tak ingin berkubang dalam genangan kesedihan lama-lama. Jika kau bisa melepas semudah itu, mengapa hal yang sama tak bisa terjadi padaku? Kini memang belum bisa kubuka hati seperti dulu. Tapi keikhlasan itu sedang sabar kutunggu, di ujung peron berwarna biru.
Kata penjaga tiket di peronnya aku harus sedikit bersabar. Keretanya sebentar lagi datang.



Pembeli tiket keikhlasan demi bisa melupakanmu,
Tanpa perlu menyebut nama kau pasti tahu siapa aku.

Minggu, 01 Februari 2015

Ya namanya juga manusia, dikasih yg di mau malah minta lebih. Sempet  berdoa kapan di pertemukan sama pria yang menyadarkan, ya alhamdulilah saat ini ketemu si abang. Entah sampai kapan. Berasa beda aja semenjak kenal sama abang ini, salah satunya masalah bergaul, yang memang harus bener2 menjaga diri kalau berinteraksi. Gak bisa seenaknya nyolek sana sani, mukul sebel sana sini, nyubit sembarangan, minta anter seenaknya, bilang kangen semaunya ya meskipun pernah dulu sama2 bilang sayang.